Jumat, 16 Desember 2011

Gunawan Wibisono, Juragan Timun Mantan Wartawan


Turut membidani tabloid Monitor sampai terakhir tabloid Bintang Indonesia, merupakan 15 tahun perjalanan Gunawan Wibisono menjadi wartawan. Bosan “berkelahi” urusan deadline di media, dengan modal pesangon ahli fotografi ini hijrah ke Bogor menjadi petani, panenannya lele, jambu, kacang, timun dan lainnya hasilnya ton-tonan

Bosan jadi pegawai dialami Gunawan Wibisono, sehari-hari bekerja mengurusi foto-foto para selebriti tanah air. Bila pemasukan tergantung dari aliran gaji bulanan, dengan usaha sendiri pemasukan itu menjadi tidak terbatas baik waktu maupun besarnya. Lewat keberanian semua itu dilakukan sendiri dengan segala resiko. “ Saya resign pas lengsernya Soeharto tahun 1998. Dengan modal pesangon seadanya, saya pindah ke Bogor. Cita-citanya mau jadi orang bebas. Hidup di desa tapi kalau bisa berpenghasilan seperti orang kota” ungkap pria kelahiran Tegal, 19 Januari 1964.

Jika biasanya mengoperasikan kamera, kini harus berkutat dengan produk-produk pertanian. Di desa Ciasmara yang merupakan sentra ikan mas, menumbuhkan minat awalnya untuk beternak ikan mas. Di kolam air deras, caranya sungai di bendung lalu airnya dialirkan masuk kolam semen. Berkat ikan mas ini, banyak penduduk desa yang menjadi tuan tanah, kaya raya bahkan bisa menunaikan ibadah haji.

Bisnis terkadang tak bisa diprediksi. Tatkala krisis melanda tanah air, nilai dollar US dari 2 ribu melejit ke angka 17 ribu. Otomatis usaha pemeliharaan ikan mas banyak yang gulung tikar, akibat harga pakan serta komponennya yang masih impor tiba-tiba meroket. Misal pakan dari 40 ribuan perzak menjadi hampir 150 ribuan. “ Nah, ketika orang ramai-ramai angkat kaki. Saya justru baru masuk. Lebih parahnya banyak pembeli ikan atau tengkulak bangkrut. Akhirnya panenan ikan saya terlantar, terpaksa dijual ecer kiloan. Modal rusak, uangnya berantakan, usaha ikan mas pun tinggal sejarah” ucap pria berkacamata ini.

Pengalaman pertama gagal tidak membuatnya putus asa. Ia melakukan usaha plasma ayam potong, tinggal memelihara sedangkan bibit, pakan dan obat-obatan di tanggung perusahaan induk.lumayan sempat berkembang pesat, dari skala 3 ribu ekor menjadi 25 ribu ekor. Kendala datang ketika usaha membesar, masyarakat sekitar tidak setuju karena limbah dan bau. Belum lagi faktor sentiment lingkungan. Menurutnya memelihara ayam potong harus dikontrol ketat, karena bisa dicuri orang baik ayamnya maupun pakannya. Karena tekanan yang luar biasa akhirnya usaha inipun di stop total. Kenang anak pertama dari tiga bersaudara ini.

Kegagalan kedua tidak mematikan semangatnya untuk beralih ke sektor pertanian. Menggunakan lahan dengan jalan mengontrak pertahun dengan membayar uang di muka. Lahan awalnya sempat mencapai 10 hektare, lantas dipangkas tinggal 3 hektare. Dari berbagai pengalaman tenyata hanya cabe lah yang paling potensial untuk ditanam. Bagaimana tidak, bila harganya tengah meroket selain masuk topik dalam rapat kabinet juga menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Bukan cerita aneh bila seorang petani membawa cabe ke pasar pulangnya bisa langsung menggaet sepeda motor baru.


Tapi sebaliknya bila harga sedang runtuh atau terserang hama, seorang petani bisa jatuh bangkrut. Mengurus cabe bukan perkara mudah. Cabe adalah tanaman yang manja, rewel, mahal dan gampang terserang penyakit. Tetapi segala kesusahan ini akan terbayar bila saat panen tiba dan mendapat harga yang bagus. 

Selain cabe, timun juga sangat lumayan, terutama yang masih muda untuk lalap, hasil panennya bisa mencapai 12 ton. Begitu juga jagung yang banyak dimanfaatkan konsumen sebagai bahan sayuran atau panganan jagung bakar, biasanya panennya hingga 2 ton. Kacang panjang hasilnya juga sangat baik, pasar banyak membutuhkan terlebih saat lebaran untuk ketupat sayur. Ada pula jambu batu merah, sekitar 600 pohon setiap minggu panen hingga 3 ton.

Perkembangan kuliner di Jakarta yang cukup ramai, terutama kebutuhan ikan lele mencapai 150 ribu ton setiap hari  menjadi ceruk financial yang sangat menarik. Apalagi peternak ikan lele baru bisa memenuhi separonya. Dari peluang ini Gunawan memanfaatkannya dengan beternak lele dari hulu hingga hilir. Artinya dari mengawinkan induk, meneteskan telur, memelihara larva, pembesaran hingga menjadi ikan siap dikonsumsi dan dilepas kepasaran. Awalnya sempat dikembangkan 60 empang dari 20 empang masing-masing berukuran 7 x 10 meter. Satu empang yang dibuat dari dasar plastik ini bisa menampung 1000 lele yang dipanen setiap 2 bulan.

Ketika mengalami kegagalan, Gunawan tak menyerah bahkan terus melangkah dengan menyitir kata sakti idolanya, Bob Sadino, Mulai saja. Segala kesulitan yang timbul malah bagus dan menguatkan kita.
Dimulai dengan merubah orientasi usahanya, biladahulu expansif sekarang intensif. Pengetatan jumlah pekerja tapi memilikiketrampilan tinggi. Pekerja yang dibayar mingguan dirangkul sebagai partner. Mereka juga memiliki bagian keuntungan bila hasil panen maupun harga pasarnya bagus. Itulah sebabnya para pekerja ini lebih militan dan lebih all-out.

Sedang untuk market, sangatlah penting artinya bersinergi dengan orang pasar agar wawasannya lebih terbuka dan tidak berjalan sendiri. Karena kesal dengan ulah para tengkulak maka ia putuskan untuk menjual sendiri hasil panennya langsung ke pasar Induk Kemang – Bogor. (majels)   

1 komentar:

  1. Selamat sore,
    Maaf, siapapun admin blog ini, bisakah saya diberi kontak dari Pak Gunawan Wibisono ini?
    Saya ada keperluan penting dengan beliau. Saya mohon dengan sangat.
    Terima kasih.

    BalasHapus